Minggu, 17 November 2013

TUGAS P2 (ARTIKEL)


Wibawa lembaga negara

Koran SINDO
Sabtu,  16 November 2013  −  08:07 WIB


UNTUK pertama kali sidang pembacaan putusan pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai kericuhan dan tindak kekerasan. Pada pembacaan putusan pemilukada Provinsi Maluku di Gedung MK, Kamis (14/11), puluhan pendukung salah satu calon gubernur dan calon wakil gubernur mengamuk, merangsek ke ruang sidang, merusak fasilitas persidangan, dan mengejar para hakim konstitusi. 


Hakim yang seharusnya dihormati dengan panggilan yang mulia itu pun lari tunggang langgang menghindari kejaran massa yang tidak puas dengan proses persidangan. Fenomena itu menunjukkan secara gamblang bahwa wibawa MK yang dulu angker itu telah runtuh dan hancur berkeping-keping. Kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar telah memberi kontribusi besar terhadap memudarnya wibawa dan marwah lembaga peradilan konstitusi itu. 


Dalam situasi seperti ini, apa pun putusan yang dijatuhkan MK dalam perkara pemilukada semakin diragukan masyarakat. Butuh waktu dan pengorbanan besar dari para hakim konstitusi untuk mengembalikan kepercayaan publik dan meminimalisasi Akil effect. Para pimpinan lembaga tinggi negara lain merespons cepat dan menyimpulkan hal serupa terhadap MK. 


Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui juru bicaranya meminta MK segera berbenah untuk mengembalikan wibawa lembaga negara. MK memang harus berbenah, introspeksi bahkan bertobat jika diperlukan. Bertobat dengan sesungguhnya untuk membersihkan diri dari suap, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan tidak terpuji lainnya. Posisi MK memang sedang di ujung tanduk. 


Ke kiri salah, ke kanan salah, dan ke tengah pun salah. Jika fenomena ini kita lihat dalam gambar besar, sebenarnya kekecewaan publik terhadap lembaga peradilan kita dalam berbagai tingkatan sudah menumpuk sejak lama. Sudah tidak terhitung berapa kali kerusuhan terjadi di ruang pengadilan di berbagai daerah. Lagi-lagi hukum ternyata sulit menjangkau rasa keadilan masyarakat yang sebenarnya sudah demikian gamblang wujud dan bentuknya. 


Tapi selalu menjadi abstrak di depan hukum negara kita. Tidak hanya ke lembaga peradilan, tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi negara yang lain seperti kepolisian, kejaksaan, MA, DPR, MPR, presiden, bahkan KPK sekalipun terus merosot dalam beberapa waktu terakhir. Ini lampu merah kepada para penyelenggara negara. 


Kasus korupsi yang hampir menyentuh semua lini kehidupan benar-benar sudah menyakitkan rakyat. Tapi anehnya, masih banyak pejabat negara yang tidak merasa bagian dari kebobrokan kolektif tersebut. Bahkan dengan penuh percaya diri, si pejabat yang kinerjanya pas-pasan itu tebar pesona kanankiri seolah dirinya pantas dipilih kembali dalam Pemilu 2014. 


Politik pencitraan masih dianggap sebagai jurus ampuh untuk mengelabui rakyat pada Pemilu 2014. Padahal semakin banyak orang tahu bagaimana biasnya politik pencitraan. Wibawa MK runtuh, demikian pula wibawa lembaga-lembaga negara lain. Alangkah baiknya jika para pemimpin lembaga tinggi negara ini tidak saling menyalahkan dan merasa dirinya yang paling bersih. 


Kemerosotan wibawa lembaga negara ini harus dijawab dengan tindakan, perbuatan, dan prestasi kerja yang mengagumkan. Tidak ada yang sempurna di dunia fana. Tapi paling tidak harus ada upaya untuk malu kepada rakyat jika berbuat curang, menerima suap, menyalahgunakan kedudukan, maupun berdusta. MK harus berbenah. DPR juga harus segera insyaf, Istana juga tidak boleh jemawa dan segera menertibkan internalnya. 


Begitu pula MA, KPK, pengadilan, kepolisian, kejaksaan, dan semua unsur lembaga kenegaraan lainnya. Sadarkah kita bahwa masyarakat sudah sedemikian berat untuk memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga itu?

(nfl)

========================================================================

KOMENTAR  :

Menurut pendapat saya, artikel di atas ada beberapa yang tidak mencakup kriteria EYD yang baik dan benar. Contohnya pada kalimat seperti berikut :
  • UNTUK pertama kali sidang pembacaan putusan pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai kericuhan dan tindak kekerasan.
Seharusnya pada kata 'putusan' diberi imbuhan ke- supaya memenuhi konsep EYD yang benar.

  • Fenomena itu menunjukkan secara gamblang bahwa wibawa MK yang dulu angker itu telah runtuh dan hancur berkeping-keping. Kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar telah memberi kontribusi besar terhadap memudarnya wibawa dan marwah lembaga peradilan konstitusi itu. 
Kata 'gamblang' seharusnya dapat diganti dengan kata yang lebih efektif seperti diganti dengan kata 'jelas' atau 'tegas', supaya lebih mudah dipahami. 

  • Butuh waktu dan pengorbanan besar dari para hakim konstitusi untuk mengembalikan kepercayaan publik dan meminimalisasi Akil effect. Para pimpinan lembaga tinggi negara lain merespons cepat dan menyimpulkan hal serupa terhadap MK. 
Dalam penulisan bahasa indonesia, kata 'effect' seharusnya ditulis 'efek' dan pada kata 'merespons' seharusnya ditulis 'merespon' tanpa menggunakan huruf terakhir 's'.

  • Tapi paling tidak harus ada upaya untuk malu kepada rakyat jika berbuat curang, menerima suap, menyalahgunakan kedudukan, maupun berdusta.
Penulisan 'Tapi'lebih baik diberi awalan te- menjadi 'Tetapi.


  • MK harus berbenah. DPR juga harus segera insyaf, Istana juga tidak boleh jemawa dan segera menertibkan internalnya. 
 Pada kata 'insyaf'', seharusnya  ditulis 'insaf' sesuai dengan EYD yang benar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar