Minggu, 17 November 2013

TULISAN 3 (PERIODE OKTOBER)

 SEPAK BOLA INDONESIA BELUM SEPENUHNYA MERDEKA
Merdeka memiliki definisi bebas, tidak terikat dengan pihak ataupun kondisi tertentu. Apakah Sepak bola Indonesia sudah Merdeka? Pertanyaan yang melintas begitu melihat kondisi sepak bola di negeri yang memiliki kurang lebih 240 juta penduduk ini.
Sejak tahun 1994, Liga Indonesia pertama kali digulirkan, sebuah liga yang digadang-gadang menjadi liga profesional, setelah sebelumnya kompetisi masih berbalut Perserikatan (amatir) lalu mengarah ke semi profesional dalam gelaran Galatama, hingga menjelang 20 tahun bergulir, Liga Indonesia sudah beberapa kali berganti label sesuai nama sponsor, sampai menggunakan nama Indonesia Super League (ISL) disematkan dalam lima tahun terakhir Liga Indonesia berlangsung. Agar tidak melebar, saya lebih tertarik membahas Merdeka di sepak bola Indonesia dalam sisi finansial. Surat sakti pelarangan penggunaan dana APBD untuk sepak bola yang tertuang dalam Permendagri No.13 tahun 2006 yang kemudian diperkuat masih dari Keputusan Mendagri No.1 tahun 2011 isinya melarang penggunaan APBD dalam kegiatan sepak bola menjadi cikal bakal setidaknya dalamtiga tahun terakhir klub sepak bola Indonesia mulai tidak bisa stabil dalam mengatur rasio keuangan yang berimbas kepada pelaku sepak bola yakni pemain sepak bola sendiri yang mengalami keterlambatan gaji, pemotongan, bahkan sampai ada yang tidak dibayarkan.
Musim 2012/2013 ini saja, 18 kontestan ISL yang berkompetisi, dari beberapa sumber yang saya himpun, praktis hanya sekitar 3-5 tim yang mampu menjalankan kewajibannya membayarkan hak dari para pemainnya secara tepat waktu, dan harus diakui juga Persija, tim yang saya dukung tidak termasuk dalam 5 tim yang sehat itu. Banyak faktor mengemuka kenapa sampai terjadi hal yang demikian, saya tidak mau membahas tim lain, karena selain tidak ingin dibilang sok tahu, lebih baik menceritakan diri sendiri karena bisa menjadi pembelajaran yang baik untuk ke depannya. Teringat sebuah kalimat “karena begitu satu jari menunjuk ke arah lain, empat jari lain sudah siap mengarah ke diri sendiri.”
“Dualisme tim, fase yang sangat melelahkan, tidak hanya bagi tim, tapi bagi kami suporter Persija. Persidangan demi persidangan kami lalui, suport tiada henti diberikan karena kami tahu mana Persija yang selama ini sudah kami dukung. Tempo waktu inilah, sponsor yang tadinya sudah ingin mengucurkan dana untuk Persija mulai mundur teratur karena tidak adanya kejelasan. Dengan tidak ada pemasukan yang berarti, Persija tetap berusaha survive untuk bisa menyelesaikan kompetisi, walaupun tetap dihiasi masalah keterlambatan gaji. Kurang lebih setahun kebenaran mulai terkuak, apa yang selama ini kami perjuangkan mencapai hasilnya. Melalui keputusan pengadilan, bahwa nama Persija tidak berhak digunakan pihak lain dalam kompetisi manapun dalam hal ini di luar ISL di mana Persija menjadi peserta.
Setelah legalitas didapat, apa masalah selesai begitu saja? Apakah sponsor masuk dengan mudah? Apakah dana segar mampu mengalir untuk mengantisipasi keterlambatan gaji? Ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan. Masalah klasik keterlambatan gaji tetap menggelayuti tim kebanggaan Jakarta. Tidak berhenti sampai di situ kami pun harus merelakan kepergian pemain-pemain ke tim lain karena tidak adanya dana yang mencukupi.
Siapa yang bertanggung jawab akan keadaan ini? Semua berkorelasi, mulai dari sulitnya izin keamanan menggelar pertandingan di Jakarta yang merupakan salah satu sumber pemasukan, mahalnya menggelar untuk satu pertandingan di Jakarta terkait dengan stadion, ditambah belum maksimalnya kehadiran suporter Persija saat laga kandang, dan tentu saja puncaknya ada dalam tubuh Manajemen yang tidak mampu mencari sponsor, mengingat hampir seluruh perusahaan, menjalankan aktivitasnya semua berpusat di Jakarta. Teringat akan celoteh teman “Apa sih yang gak bisa dijadiin duit di Jakarta, orang buang air kecil aja bayar kok”.
Sedikit berkaca dan mengambil contoh yang baik, 12 tahun lalu saat Persija terakhir kali mengangkat piala lambang supremasi tertinggi sepak bola Indonesia, di mana seorang Bambang Pamungkas, mencetak dua gol kemenangan. Juara yang sepanjang pengetahuan saya diraih tanpa menggunakan dana APBD dan sudah barang tentu tidak adanya keterlambatan gaji.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-68, semoga menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam berbagai aspek kehidupan, terutama sepak bola cabang olahraga yang masih menjadi favorit di negara ini, bisa segera sepenuhnya merdeka, entah lusa, esok hari atau nanti di waktu yang belum bisa ditentukan. Apapun masalah dan problematika yang saat ini menimpa sepak bola Indonesia, kibarkan Merah Putih di atas warna lain. Indonesia, kami di sini tetap bangga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar